Untuk modal berladang dan bertani pada lahan seluas 2 Hektar, petani membutuhkan Modal minimal 10 Juta Rupiah. Ketika mendapatkan informasi ini dari wawancara sebuah stasiun televisi swasta dengan seorang petani di NTB, saya sungguh terkejut mendengarnya, ternyata modal yang di keluarkan petani untuk bercocok tanam sampai sebesar itu.
Pertanyaan saya selanjutnya, setelah saya mendapat informasi ini adalah, apakah petani kita mampu menyediakan uang yang berjumlah cukup besar seperti itu ?, jika mereka mampu, pertanyaan saya kedua adalah dari mana mereka mendapatkan uang tersebut ?
Pantas saja, saat ini daerah penghasil padi dan hasil pertanian lainnya semakin menurun dan berkurang, bahkan profesi petani di daerah yang dahulu menjadi kebanggaan banyak penduduk yang tinggal di desa, kini sudah tidak populer lagi.
Prinsip ekonomi yang sering di kumandangkan tidak berlaku untuk para petani yang tinggal di daerah. "Dengan pengorbanan sekecil-kecilnya untuk mendapatkan hasil sebesar-besarnya" sudah tidak terbukti kebenarannya, bahkan untuk di jadikan teori yang dapat memicu semangat dan gairah petani saja, prinsip ekonomi ini sudah sangat tidak sesuai lagi untuk di gunakan.
Selain modal yang sangat besar dalam bercocok tanam, petani pun harus menghadapi resiko gagal panen, bayangkan betapa semakin sulitnya kehidupan mereka, ketika mereka terpaksa harus berhutang untuk modal bertani, lalu setelah modal itu habis digunakan, para petani itu harus mengalami malapetaka gagal panen, apa yang akan terjadi ?
Jika sudah seperti ini jangankan berfikir untung, bagaimana mengembalikan modal bertani saja sangat membuat pusing para petani, sehingga dengan terpaksa mereka harus menjual satu-satunya sumber penghasil uang mereka yaitu "Ladang dan sawah" untuk membayar hutang.
Tidak lagi adanya sawah dan ladang, menyebabkan petani berfikir keras bagaimana cara mereka melanjutkan kehidupannya, bekerja di ladang sudah tidak bisa, bekerja di Kota, tidak memiliki pendidikan. Akhirnya mereka memilih jalan paling mudah sebagai solusi dari permasalahan kehidupan mereka, yaitu dengan pergi ke Luar Negeri sebagai TKI dan TKW.
Karawang, sebagian daerah di Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB dan daerah lainnya dahulu sebagai daerah penghasil padi dan hasil pertanian terbaik Negeri ini, kini berubah menjadi Daerah penghasil TKI dan TKW Terbaik di Negeri ini.
Kita tidak perlu khawatir, kebutuhan hasil pertanian tidak akan pernah berkurang untuk mencukupi kebutuhan kita semua, karena orang-orang "Pintar" telah mengambil langkah cerdas (menurut mereka) untuk mengantisipasi keadaan ini sejak jauh-jauh hari, yaitu dengan mengimpor beras dan hasil pertanian lainnya dari Nagara Tetangga. Sehingga kematian mata pencaharian para petani di desa semakin sempurna dan lebih cepat.
Pertanyaan saya hanya satu, mengapa kita tidak bisa seperti banyak Negara Asia lainnya yang semakin maju, China misalnya, dengan perkembangannya yang semakin pesat di segala bidang, mulai dari perkembangan teknologi hingga pertanian. China semakin menunjukan jati dirinya sebagai Negara Asia dengan tingkat kemapanan semakin lebih baik, mengapa kita tidak bisa ? dimana kesulitan kita untuk maju ? apa yang mejadi kendala untuk kita berkembang ? padahal Negeri kita, sering di ajarkan dengan sebuah slogan yang sangat familiar yaitu " Tuntutlah Ilmu hingga ke Negeri China" .
Jawabannya sedehana, China lebih sibuk dalam mengejar prestasi dan pengembangan diri sedangkan Negeri kita lebih sibuk saling lapor polisi, karena merasa nama baiknya tercemari .
Jika ini terus terjadi, maka kita akan tetap menjadi bangsa "primitif" dan kembali kemasa prasejarah, seperti Jaman Neolitikum.
Karena Rasa Cinta Pada Negeri, maka Tulisan ini saya buat dengan tujuan hanya untuk diri sendiri.
Tidak untuk kalian, mereka atau siapapun juga.
Sekali lagi hanya untuk diri sendiri.
0 komentar:
Post a Comment